JURNALJOGJA.ID, KOMUNITAS | Tidak hanya pesona alam nan indah, Papua juga memiliki nilai historis dalam setiap praktik kebudayaan masyarakatnya.
Beberapa diantaranya seperti ritual sakral memotong jari tangan hingga tradisi injak piring yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur orang Papua pedalaman.
Semua praktik kebudayaan masyarakat di Papua merupakan wujud nyata kekayaan budaya Nusantara yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi.
Selain terkenal dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) berupa tambang emas terbesar di wilayah Indonesia, Papua juga memiliki tradisi unik warisan kebudayaan leluhur tanah Papua yang menarik untuk diketahui.
Keistimewaan budaya dan tradisi masyarakat bumi cenderawasih itu membedakannya dari daerah lain di Indonesia. Papau sangat indah dan eksotis.
Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, Papua masih setia dan konsisten menjaga dan mewarisi tradisi budaya kepada anak dan cucu mereka.
Topik pembicaraan tentang keindahan dan kekayaan Papua tiada habisnya. Berikut tradisi unik dan ritual-ritual sakral dalam kebudayaan Papua yang wajib diketahui:
1.Tradisi Ararem Suku Biak
Tradisi Ararem dalam kebudayaan Papua merupakan budaya asli suku biak. Ararem berarti mas kawin. Tradisi ini biasa digelar pada pernikahan adat Papua.
Rombongan pengantin laki-laki berarakan menghantarkan mas kawin untuk keluarga pengantin perempuan sambil bernyanyi dengan iringan musik tradisional Papua.
Dalam pernikahan adat Papua, tradisi ini dilakukan dua tahap. Tahapan pertama dimulai dari musyawarah antara keluarga pengantin laki-laki dan keluarga pengantin perempuan.
Dimana keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin perempuan akan melakukan kesepakatan adat terkait jumlah mas kawin yang harus dibayar oleh keluarga laki-laki.
Setelah kedua belah pihak setuju, maka akan dilanjutkan pada tahap yang kedua. Tanggal pelaksanaan juga turut ditetapkan pada tahap ini.
Tahap kedua prosesnya lebih panjang daripada tahap pertama, dimulai dari penyerahan mas kawin yang diiringi rombongan keluarga besar, selanjutnya pelaksanaan upacara pengiringan (munara yakyaker), berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.
Proses ini berlangsung hingga ritual adat wor. Pada prosesi wor yaitu pengantin wanita akan diiringi rombongan keluarga, diantar menuju rumah pengantin pria.
2. Potong Jari (Iki Palek)
Tradisi potong jari atau sering disebut sebagai iki palek dalam bahasa masyarakat suku Dani merupakan tradisi dalam kebudayaan Papua yang sudah berlangsung selama ribuan tahun.
Tradisi potong jari ini memang terkesan cukup ekstrim dan menyeramkan tapi ritual tersebut teryata memiliki makna sangat mendalam bagi masyarakat di Papua.
Makna budaya potong jari adalah sebagai ungkapan kesetiaan dan rasa kehilangan teramat dalam terhadap anggota keluarga yang meninggal dunia.
Bagi masyarakat suku Dani, kesedihan karena kematian anggota keluarga tidak cukup hanya diucapkan dengan menangis saja.
Mereka memiliki keyakinan bahwa potong akan merupakan satu-satunya cara untuk menghapus rasa duka atas kehilangan orang tercinta.
Bagi masyarakat di suku Dani, ritual potong jari merupakan simbol kekuatan dan persatuan, tak heran ketika bertemu dengan masyarakat adat suku Dani yang kehilangan beberapa jari tangan mereka.
Banyaknya jumlah jari yang tangan hilang itu menandakan jumlah anggota keluarga yang telah meninggal dunia.
3. Pembuatan tifa dengan darah
Selain tradisi potong jari bentuk penghormatan terakhir bagi anggota keluarga yang meninggal dunia, ada lagi ritual kebudayaan Papua yang tak kalah menyeramkan yaitu membuat tifa menggunakan darah manusia sebagai bahan perekat.
Tifa merupakan jenis alat musik tradisional Papua yang memiliki kemiripan gedang. Bahan yang digunakan untuk membuat tifa adalah kulit biawak.
Proses pembuatan Tifa menggunakan darah sebagai bahan perekat. Tradisi kebudayaan ini berasal dari suku Kamoro.
Dalam proses pembuatan Tifa, sebelum kulit biawak ditempelkan ke ujung gendang kayu, sederet pria Kamoro rela menyumbangkan darah mereka sebagai perekat tifa.
Biasanya pembuat tifa menyilet paha mereka lalu menampung kucuran darah menggunakan cangkang kerang. Setelah darah ditampung cukup banyak untuk dipakai sebagai perekat tifa, lalu darah akan mengoleskan ke gendang tifa sebagaimana mereka mengoleskan lem.
Kulit biawak direkatkan sambil ditarik kencang. Mereka akan memasangkan tali pengikatnya supaya kulit biawak bisa merekat dengan baik.
4. Mansorandak
Selanjutnya tradisi mansorandak. Tradisi ini merupakan tradisi penyambutan bagi tamu bagi masyarakat suku Biak yang pulang dari perantauan yang cukup lama.
Masyarakat suku Biak ketika yang cukup lama berada di perantauan, ketika mereka pulang ke Papua, akan disambut upaya Mansorandak sebagai wujud syukur karena orang yang disambut sudah bisa pulang ke kampung halaman.
Tradisi mansorandak dalam kebudayaan Biak merupakan biasanya dilakukan oleh warga yang mendiami daerah sekitar Teluk Doreri di Manokwari.
Dalam proses ritual kebudayaan tersebut dilakukan dengan cara menginjak piring yang diyakini dapat mengusir roh-roh jahat yang ikut serta dalam perjalanan pulang.
5. Bakar Batu
Selanjutnya ada tradisi bakar batu, atau barapen dalam bahasa lokal Jayawijaya. Tradisi ini merupakan wujud ungkapan syukur, menjalin silaturahmi.
Dalam sejarah nenek moyang masyarakat Jayawijaya, tradisi tersebut digelar ketika hendak mengumpulkan prajurit perang.
Tradisi ini hanya dilakukan oleh suku yang mendiami wilayah pegunungan di sekitar lembah Baliem, Nabire, Paniai, Dekai, pegunungan Bintang, sekitar pegunungan Tengah, Yahukimo, serta Jayawijaya.
Selain untuk mengungkapkan rasa syukur dan saat mengumpulkan pasukan perang, tradisi bakar batu juga biasanya dilakukan untuk menyambut rombongan tamu agung seperti Bupati, Gubernur, Presiden, atau tamu kehormatan lainnya.
6. Tanam Sasi
Budaya Papua terakhir yang akan kita bahas bersama adalah tradisi tanam sasi. Tradisi ini merupakan tradisi upacara adat kematian yang diadakan di suku Marind atau Marind- Anim di Kabupaten Merauke.
“Sasi’ sendiri merupakan media utama berbahan kayu yang digunakan dalam upacara ini.
Sasi akan ditanam selama 40 hari setelah kematian seseorang di daerah tersebut. Lalu, sasi akan dicabut dari tempatnya setelah 1.000 hari ditanam.
Upacara tanam sasi ini dilakukan untuk menggambarkan rasa sedih yang dialami keluarga yang sedang berduka.
Selain dilakukan untuk mengungkapkan rasa sedih keluarga, upacara tanam sasi dilakukan sebagai bentuk pemberitahuan bahwa ada yang meninggal dunia di suatu desa.
Itulah enam budaya Papua yang menarik dan tidak dijumpai di daerah-daerah lain di Indonesia.***